ITALIAN SERIES: Civita di Bagnoregio – Il Paese che muore (The Dying Town)





Civita di Bagnoregio (dibaca: Banyorejio) adalah sebuah kota kecil di atas bukit di provinsi Viterbo, area Lazio, Italia.  Civita adalah sebuah kota dari abad pertengahan yang tidak tersentuh oleh Renaissance, sehingga seluruh bangunannya masih original dengan beberapa perbaikan pada masa-masa pasca gempa.

Tentang Civita, imajinasi dari Bonaventura Tecchi  seorang penulis Italia yang lahir di kota Bagnoregio: “… la fiaba del paese che muore, del paese che sta attaccato alla vita in mezzo a un coro lunare di calanchi silenziosi e splendenti…”
“..… the tale of the dying village, of the village tied to life in a lunar choir of silent and shining gullies..”



Selama ribuan tahun gunung berapi Volsini meletuskan abu dan tumpahan laharnya yang bertumpang tindih di lembah Pliocene dan sungai di lembah Tiber dan ini yang akan mempengaruhi sejarah dari Civita di Bagnoregio, sebuah desa yang dibangun dari bebatuan dan hilang pula oleh bebatuan, korban dari erosi dan tanah longsor.




Nama “Civita” (The Town) merupakan sebuah memori dari sejarah yang amat panjang. Kembali ke zaman perunggu “Bronze Age” (XII – X SM) ketika sebuah komunitas kecil tinggal di satu bukit bernama Bagnoregio, hingga masyarakat tersebut membesar menjadi sebuah kota hidup yang merupakan pusat dari perdagangan dan kemudian dibangun sebuah gereja Katedral besar St. Petrus, maka disebutlah Civita di Bagnoregio. Pada tahun 1695, akhir abad ke-17, uskup dan pemerintahan kota terpaksa pindah ke Bagnoregio karena gempa bumi besar terjadi sehingga menjatuhkan seluruh kota dan hanya menyisakan sebuah tebing yang berisi 1 gereja besar dan sekitar 15 rumah di satu dataran tinggi. Hampir seluruh penduduk kota mati karena gempa besar ini, selain yang hilang di dataran yang jatuh, juga yang di tebing sisa Civita di Bagnoregio tidak mendapatkan akses untuk keluar dari tebing tersebut. Bagnoregio terus berkembang sebagai kota kecil yang makmur, sementara Civita dikenal sebagai il Paese che muore (dalam bahasa Italia: "kota mati"). Inilah asal muasal julukan untuk Civita di Bagnoregio “il paese che muore” “the dying town”.

Pasca gempa, pemerintahan Italia kemudian membangun jembatan dari bebatuan untuk akses menuju kota tersebut, tetapi hal ini masih mempersulit karena proses erosi semakin cepat terjadi, tanah semakin cepat meluncur turun dari kota kecil tersebut. Akhirnya pada tahun 1965 dibuatlah jembatan dari beton untuk menghubungkan kota tersebut (Civita) dengan Bagnoregio. Dan terbukti kota ini mampu bertahan ditengah intrusi alam, modernitas, serta kehancuran yang dibawa oleh 2 perang dunia. Populasi saat ini bervariasi, dari sekitar 12 orang di musim dingin dan lebih dari 100 orang di musim panas. Kota ini ditempatkan sebagai “The Watch List” dari 100 situs sejarah yang terancam punah oleh Monumen Dunia.

Bagi saya sendiri perjalanan menuju ke Civita merupakan salah satu impian saya semenjak menginjakkan kaki di negeri Pasta tersebut untuk menimba ilmu. Saya sendiri mengetahui Civita hanya berdasarkan deskripsi singkat namun sangat berkesan oleh teman saya yang pernah kesana. Objek wisata ini memang tidak terlalu terkenal di dunia melebihi menara Pisa ataupun kota Vatikan di Roma, sehingga pada hari itu saya hanyalah salah satu dari 5 turis yang datang ke tempat ini.  Perjalanan saya dimulai dari Perugia, kota tempat saya tinggal, menuju Orvieto dengan kereta. Ketika sampai di Orvieto saya harus membeli tiket bus lagi menuju Bagnoregio (Kota yang pinggiran yang tersisa pasca gempa dan sekarang jadi pusat kota). Sampai di stasiun Bagnoregio ada 2 alternatif untuk sampai di Civita, yang pertama menggunakan minibus yang setiap 1jam sekali pergi naik menuju jembatan Civita, atau yang kedua, dengan berjalan kaki kurang lebih 20menit. Saya sendiri memilih untuk berjalan kaki karena sampai disana pun saya tidak melihat satu minibus-pun, dan hal ini harap dimaklumkan di Italia. Jalan yang ditempuh tidaklah sulit karena dimana-mana terdapat sign system yang menunjukkan arah menuju Civita. Kota Bagnoregio sendiri cukup unik namun amat sangat sepi, total di Bus yang saya tunpangi dari Orvieto untuk ke Bagnoregio hanya 7 orang, 5 Turis termasuk saya dan 2 penduduk asli yang tinggal disana.













Ketika sampai di pintu pertama (dimana bisa melihat panorama Civita dari kejauhan dan secara keseluruhan) saya seperti masuk ke dalam negeri dongeng, dan hampir tidak percaya dengan keajaiban alam yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Ini adalah sebuah perjalanan fantasi, dimana sepanjang jalan menuju Civita, imajinasi saya terus berkembang: Istana di atas bukit dan putri di dalamnya, lengkap dengan Pangeran berkuda putih menuju kesana melalui saya dan beberapa turis disana, berikut naga api yang menjaga di puncak menara Istana tersebut. :D





Sepanjang perjalanan di jembatan pun (disini mobil sudah tidak dapat lewat) saya bertemu 2 orang turis yang juga jalan sendiri seperti saya, satu wanita  muda berasal dari Korea, dan satu pria setengah baya berasal dari Amerika. Pria Amerika ini pun berkata kepada saya, bahwa dia sebelumnya pernah tinggal di Italia dan tidak sempat ke Civita, akhirnya ini adalah salah satu perjalanan yang dia impikan sebelum dia meninggal.

Berjalan di jembatan menuju Civita ternyata tidak cukup mudah untuk orang yang takut ketinggian seperti saya, selain angin kencang yang riuh menerpa, juga ketinggian yang semakin memuncak membuat lutut saya agak sulit melangkah. Namun hal ini tidak menghalangi karena tujuan di atas lebih dari semua kesulitan yang dihadapi. 




Sampai di atas kita dihadapkan pada beberapa sisa reruntuhan yang membentengi seluruh kota, melewati satu lorong panjang, sampailah kita langsung di tengah kota, Centro, dimana terdapat Gereja dan beberapa Trattoria khas Italia, serta beberapa toko yang menjual wine serta mentega dan keju asli penduduk Bagnoregio. Sebagian besar bangunan di Civita ternyata sudah dibeli oleh orang-orang kaya di Italia maupun penjuru dunia, kabarnya Leonardo di Caprio juga memiliki salah satu dari bangunan di Civita, dan biasanya dihuni ketika liburan musim panas.












Jadi ketika saya berkeliling, yang memang areanya kecil sekali, banyak sekali bangunan-bangunan tua yang ternyat setelah saya “intip” bagian dalamnya cukup mewah dengan interior yang tertata rapih. Jika sampai disana jangan lupa untuk sejenak duduk manis dan menikmati secangkir kopi khas Italia ditemani dengan pemandangan menakjubkan dari atas tebing.












Perjalanan pulang pun masih menyisakan ketakjuban, sehingga saya tidak henti untuk selalu menoleh ke belakang, karena tidak ingin melupakan kota ini, hingga saya lihat teman Turis Korea saya, berjalan mundur! Karena masih ingin melihat kota ini.







Perjalanan pulang dari negeri fantasi ini pun masih jauh menuju Perugia kembali, namun lelah sudah terbayarkan dengan sampainya saya di visualisasi negeri dongeng dan keajaiban alam ini.  Seperti kata turis Amerika tersebut, tempat ini adalah salah satu yang harus dikunjungi sebelum pergi meninggalkan dunia ini.

“Il paese che muore e’ un luogo che devo visitare prima di morire”

Tulisan saya ini diterbitkan di Majalah Chip Foto & Video 2012 -- walau begitupun saya sudah 2x bolak balik kita kecil ini untuk merasakan kembali sensasi "holding breath" ketika melihat keajaiban ini secara langsung.


 Pertama kali kesana solo travelling (jaman belum menikah) lalu dapat kesempatan untuk membawa suami kesana juga :) ini foto2 ketika bawa dia kesana. 




















Comments

Popular Posts